Angka Kemiskinan Nasional Turun, Tapi Indonesia Masih Tertinggi Kedua di ASEAN dalam Kemiskinan Ekstrem!

Kemiskinan/ilustrasi--
DISWAYKALTENG.ID - Badan Pusat Statistik (BPS) merilis kabar baik bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia mengalami penurunan.
Namun, di balik kabar menggembirakan ini, ada catatan penting dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef): Indonesia masih mencatat tingkat kemiskinan ekstrem tertinggi kedua di ASEAN.
Menurut data BPS terbaru, jumlah penduduk miskin Indonesia pada Maret 2025 mencapai 23,85 juta orang, turun dari 24,06 juta orang pada September 2024. Begitu juga dengan angka kemiskinan ekstrem yang turun dari 3,56 juta jiwa pada Maret 2024 menjadi 2,38 juta jiwa pada Maret 2025.
Meski demikian, Kepala Pusat Pangan, Energi, dan Pembangunan Berkelanjutan Indef, Abra PG Talattov, menyebut bahwa secara regional posisi Indonesia belum bisa dibilang aman.
BACA JUGA:BI Pangkas Suku Bunga ke 5,25%, Tapi Yield SBN Masih Tinggi: Apa Artinya Bagi Pasar dan Ekonomi?
Berdasarkan data Poverty and Inequality Platform Bank Dunia tahun 2025, tingkat kemiskinan ekstrem Indonesia masih di angka 4,6 persen, jauh di atas Vietnam (1,6 persen) dan hanya kalah dari Filipina yang mencatat 11,5 persen.
“Pemerintah menyampaikan terjadi tren penurunan tingkat kemiskinan ekstrem. Tapi kalau kita bandingkan dengan batas baru dari Bank Dunia, posisi kita masih tinggi di kawasan,” ujar Abra dalam diskusi publik Indef bertajuk ‘Angka Kemiskinan Turun, Kesejahteraan Naik?’ di Jakarta, Selasa (29/7/2025).
Tantangan Pengentasan Kemiskinan Ekstrem
Abra memaparkan bahwa penurunan angka kemiskinan saja tidak cukup jika tidak diimbangi dengan strategi menyentuh akar masalah, terutama kemiskinan ekstrem. Ia menyoroti beberapa tantangan utama:
-
Sektor informal masih mendominasi, terutama pertanian subsisten yang sangat rentan fluktuasi harga komoditas.
-
Ketimpangan akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan yang membuat masyarakat miskin sulit keluar dari lingkaran kemiskinan.
-
Data yang tidak akurat dalam program perlindungan sosial menyebabkan bantuan sering kali tidak tepat sasaran.
-
Fragmentasi program bantuan pemerintah yang menyebabkan ketidakefisienan dan tumpang tindih.
“Mayoritas tenaga kerja masih terkonsentrasi di sektor pertanian subsisten, yang kesejahteraannya rentan terhadap fluktuasi harga,” jelas Abra.
Ia juga menekankan bahwa program perlindungan sosial yang tidak tepat sasaran memperburuk efektivitas kebijakan pemerintah. “Program seringkali tumpang tindih dan tidak tepat sasaran karena data tidak akurat. Ini jadi masalah besar,” tambahnya.
Perlu Belajar dari Negara Lain
BACA JUGA:Gerald Vanenburg Ogah Adu Penalti, Timnas U23 Indonesia Target Menang atas Vietnam dalam 90 Menit!
Abra menyarankan agar Indonesia tidak hanya fokus pada penurunan angka, tetapi juga mulai belajar dari negara lain di ASEAN yang berhasil menekan angka kemiskinan ekstrem dengan pendekatan strategis.
“Kita perlu mempelajari apa yang dilakukan Vietnam misalnya. Karena mereka bisa menekan angka kemiskinan ekstrem hingga 1,6 persen. Ini patut jadi refleksi,” ujar Abra.
Penutup: Kabar Baik Tapi Belum Final
Penurunan jumlah penduduk miskin memang layak diapresiasi, namun tantangan sesungguhnya ada di kemiskinan ekstrem yang lebih struktural dan kompleks. Tanpa perbaikan di sektor pendidikan, kesehatan, dan akurasi data, maka kemiskinan ekstrem berisiko menjadi permanen bagi kelompok rentan.
Solusinya? Pemerintah perlu meningkatkan ketepatan sasaran bantuan, memperbaiki kualitas data penerima, membuka lebih banyak lapangan kerja di sektor formal, serta memperkuat akses ke pendidikan dan layanan kesehatan di pelosok.
Sumber: