Fenomena Bediding Masih Berlanjut hingga September 2025, BMKG: Suhu Bisa Turun hingga 13 Derajat Celsius!

Fenomena Bediding Masih Berlanjut hingga September 2025, BMKG: Suhu Bisa Turun hingga 13 Derajat Celsius!

Fenomena Bediding--

DISWAYKALTENG.ID - Musim kemarau di tahun 2025 bukan hanya membawa kekeringan, tapi juga menghadirkan suhu dingin yang menusuk tulang, atau yang lebih dikenal dengan istilah bediding.

Fenomena ini diperkirakan masih akan terjadi hingga bulan September 2025. Hal ini diungkap oleh Prakirawan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi Jawa Timur, Linda Firotul, dalam keterangannya di Malang, Jawa Timur.

Menurut Linda, bediding bukanlah fenomena baru. Ia merupakan kondisi khas musim kemarau yang ditandai dengan suhu udara dingin terutama saat malam dan dini hari.

"Bediding ini disebabkan oleh dominasi angin timuran yang bersifat kering dan dingin. Fenomena ini umum terjadi antara bulan Juli hingga September," ujarnya, Senin (14/7/2025), dikutip dari Antara.

Apa Penyebab Utama Fenomena Bediding?

Linda menjelaskan bahwa bediding diperparah oleh kondisi langit yang cerah, karena hal ini mempercepat proses pelepasan panas dari permukaan bumi ke atmosfer saat malam hari.

“Langit cerah di malam hari menyebabkan radiasi balik ke atmosfer menjadi cepat. Akibatnya, suhu di permukaan bumi menurun drastis," jelas Linda.

Ia menambahkan bahwa pada periode April–Juni lalu, musim kemarau sedikit tertunda karena adanya gangguan atmosfer seperti gelombang Rossby, Kelvin, dan Madden-Julian Oscillation (MJO) yang membawa curah hujan di beberapa wilayah.

Namun memasuki akhir Juni dan awal Juli, angin timuran mulai mendominasi dan membawa udara kering dari arah Australia, membuat suhu makin menurun secara konsisten.

Jakarta dan Malang Juga Ikut Dingin: Ini Penjelasan BMKG

BACA JUGA:Ketum Kadin Anindya Bakrie Yakin Kesepakatan Indonesia-EU CEPA Akan Mendongkrak Nilai Perdagangan

Tak hanya di dataran tinggi, fenomena bediding juga dirasakan di daerah perkotaan seperti Jakarta dan Malang. Warga Jakarta beberapa waktu terakhir bahkan mengeluhkan suhu pagi hari yang terasa lebih menusuk dari biasanya.

Menurut BMKG, ini disebabkan oleh kombinasi antara langit cerah, angin kering, dan kurangnya kelembaban di udara malam hari.

Di Malang Raya sendiri, suhu minimum selama Juli 2025 tercatat berkisar antara 17 hingga 20 derajat Celsius, dan diperkirakan akan terus menurun hingga 13–15 derajat Celsius pada puncak bediding di Agustus.

Waspada Embun Beku! Ini Dampak Bediding di Dataran Tinggi

Selain rasa dingin yang menggigit, fenomena bediding juga bisa memicu terbentuknya embun beku atau embun upas, terutama di daerah pegunungan. Salah satu lokasi yang rawan terjadi embun beku adalah Ranupane, kawasan wisata yang berada di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS).

“Embun beku bisa terbentuk apabila suhu turun drastis, langit cerah, kelembapan tinggi, dan angin dalam kondisi tenang. Jika ketiga syarat ini terpenuhi, permukaan rumput atau dedaunan bisa dilapisi kristal es,” kata Linda.

Fenomena embun upas ini bukan hanya menarik secara visual, tetapi juga bisa berdampak pada pertanian dan ekosistem di kawasan pegunungan.

Tips Menghadapi Suhu Dingin Bediding

Agar tubuh tetap fit menghadapi suhu ekstrem, BMKG memberikan beberapa saran kepada masyarakat:

  1. Kenakan pakaian hangat saat malam hingga pagi hari, terutama untuk anak-anak dan lansia.

  2. Perbanyak konsumsi makanan hangat dan bergizi untuk menjaga daya tahan tubuh.

  3. Waspadai efek bediding bagi pasien dengan gangguan pernapasan seperti asma.

  4. Jaga kelembapan kulit karena suhu dingin cenderung membuat kulit kering.

  5. Petani dan pelaku wisata pegunungan disarankan memantau suhu harian agar dapat mengambil tindakan preventif terhadap potensi embun beku.

Kapan Bediding Akan Berakhir?

BACA JUGA:Pemprov Kalteng Tertibkan 251 Kendaraan ODOL Selama 2025, Mayoritas dari Sektor Tambang dan Perkebunan

BMKG memprediksi bahwa bediding akan berlangsung hingga September 2025. Puncaknya akan terjadi pada Agustus 2025, dengan potensi suhu mencapai 13 derajat Celsius, terutama di wilayah pegunungan atau dataran tinggi.

Meski fenomena ini adalah bagian dari siklus tahunan musim kemarau, masyarakat tetap diimbau untuk waspada terhadap dampaknya, terutama bagi sektor pertanian, pariwisata, dan kesehatan.

Sumber: