DISWAYKALTENG.ID - Minggu malam di Jeddah itu terasa begitu panjang bagi Maarten Paes, penjaga gawang jangkung yang selama ini jadi tembok terakhir pertahanan Timnas Indonesia.
Lampu-lampu King Abdullah Sports City masih menyala terang, tapi hati Paes sudah redup. Di papan skor, angka 0–1 terpampang dingin gol Zidane Iqbal di menit ke-76 membungkam semua asa Garuda.
Kekalahan itu menutup langkah Indonesia di Round 4 Kualifikasi Piala Dunia 2026. Setelah sebelumnya kalah 2–3 dari Arab Saudi, kini Irak yang menutup perjalanan dengan hasil menyakitkan.
Nol poin dari enam pertandingan, nol peluang tersisa. Yang tertinggal hanyalah peluh, kelelahan, dan tatapan kosong ke langit Jeddah yang sunyi.
Bagi sebagian orang, ini hanya hasil pertandingan. Tapi bagi Maarten Paes yang menolak kesempatan membela Belanda demi merah putih—ini adalah luka dari cinta yang tak sampai di ujung mimpi bernama Piala Dunia.
Tensi Tinggi dan Harapan yang Dilempar ke Lapangan
Menit ke-84 menjadi puncak emosi. Ketegangan di tribun meledak—benda-benda mulai beterbangan ke lapangan. Tapi Jay Idzes, sang kapten, justru yang pertama menenangkan para suporter.
“Saya mencoba berbicara secara hormat dengan wasit, dan meskipun keputusan mereka tidak menguntungkan kami, kami harus tetap respek,” ujarnya.
Namun di balik ketenangan itu, terlihat jelas kesedihan yang sulit disembunyikan.
“Saya hanya ingin bilang, saya bangga dengan tim ini,” kata Jay pelan.
Ia tahu, mimpi kali ini harus berhenti. Tapi berhenti bukan berarti mati.
Pesan Sunyi dari Seorang Kiper
Setelah laga berakhir, Maarten Paes menulis pesan singkat di Instagram.
“Sayangnya, impian kami untuk lolos ke Piala Dunia 2026 telah berakhir. Terima kasih telah bersama kami di setiap putaran.”
Kalimat itu sederhana, tapi sarat makna. Seolah ditulis bukan dengan tinta, melainkan dengan air mata yang tak terlihat.
Dalam setiap pertandingan, Paes selalu menjadi dinding terakhir—dari Riyadh hingga Jakarta, dari panas gurun Arab hingga sorak suporter di GBK. Tapi kali ini, semua keteguhan itu tak cukup. Takdir berkata lain.
Pelatih Patrick Kluivert hanya bisa berdiri diam di pinggir lapangan, menatap ke arah pemainnya satu per satu. Di kejauhan, Paes berjalan pelan ke arah gawangnya, menatap jaring putih yang kini terasa kosong.
Itu bukan sekadar lapangan—itu adalah panggung tempat mimpi berakhir sementara waktu.
Kekalahan yang Melahirkan Janji
Bagi publik Indonesia, Maarten Paes bukan hanya kiper naturalisasi. Ia adalah simbol dedikasi dan harapan baru sepak bola Indonesia. Dalam tiap penyelamatan, ada semangat ribuan anak muda yang percaya bahwa mimpi tak selalu lahir dari kemenangan—kadang tumbuh dari kegagalan yang jujur.
Kekalahan dari Irak dan Arab Saudi hanyalah batu loncatan menuju sesuatu yang lebih besar. Garuda mungkin jatuh kali ini, tapi sayapnya tak patah.
Piala Dunia 2026 kini memang tinggal cerita. Namun, seperti dicatat FIFA, edisi berikutnya Piala Dunia 2030 akan menandai 100 tahun sejarah sepak bola dunia.
Di situ, Maroko, Portugal, dan Spanyol menjadi tuan rumah utama, sementara Uruguay, Argentina, dan Paraguay membuka laga pertama di Amerika Selatan tempat sejarah dimulai.
Dan mungkin, di situlah nanti, Maarten Paes akan kembali berdiri. Bukan untuk menangis, tapi untuk menebus janji yang belum selesai.
Garuda yang Akan Terbang Lagi
Perjalanan Timnas Indonesia di Kualifikasi Piala Dunia 2026 memang sudah berakhir. Tapi di balik skor dan statistik, tersisa sesuatu yang lebih besar: keyakinan bahwa masa depan sepak bola Indonesia sedang dibangun dengan air mata dan keberanian.
Dari Paes, Idzes, Elkan Baggott, hingga Marselino Ferdinan, generasi baru ini sedang menulis babak baru. Mereka gagal kali ini, tapi fondasi sudah ditanam.
Suatu hari nanti, di panggung Piala Dunia, mungkin kita akan mendengar lagu Indonesia Raya berkumandang—dan di bawah tiang gawang, Maarten Paes akan tersenyum, menatap langit, dan berkata dalam hati:
“Janji itu akhirnya kutepati.”