Perempuan, Kepemimpinan, dan Amanah di Ruang Akademik Islam

Perempuan, Kepemimpinan, dan Amanah di Ruang Akademik Islam

Oleh: Dr. H. Shoni Rahmatullah Amrozi, M.Pd.I

(Kepala Pusat Moderasi Beragama LP2M UIN Kiai Haji Ahmad Siddiq, Jember)

KALTENG.DISWAY.ID - Sepanjang sejarah peradaban, kepemimpinan selalu menjadi cermin dari nilai-nilai yang dijunjung masyarakatnya. Di ruang akademik Islam, kepemimpinan seharusnya berakar pada nilai Amanah suatu kesadaran spiritual bahwa jabatan bukan hak istimewa, melainkan tanggung jawab moral untuk menegakkan keadilan dan kemaslahatan ukuran kepemimpinan selalu menjadi cermin nilai yang hidup di masyarakat. 

Namun, di balik idealisme itu, masih tampak kesenjangan yang mengendap perempuan yang memiliki kapasitas dan integritas kerap tertahan oleh dinding tak kasat mata bernama budaya, tafsir sosial, dan bias struktural.

Di tengah geliat modernisasi dan semangat kesetaraan, pertanyaan yang menggantung adalah mengapa ruang akademik Islam yang seharusnya menjadi teladan nilai keadilan masih begitu pelit memberi ruang bagi perempuan di kursi kepemimpinan?

Paradoks ini bukan sekadar soal kurangnya peluang, tetapi soal cara pandang terhadap makna kekuasaan dan amanah itu sendiri. Maka, berbicara tentang kepemimpinan perempuan bukan hanya berbicara tentang siapa yang berhak duduk di kursi rektor, dekan, atau direktur; melainkan tentang bagaimana nilai-nilai Islam dipraktikkan dalam wajah kelembagaan yang adil, berempati, dan berjiwa rahmah.

Ruang Akademik dan Tafsir Kepemimpinan

Dalam ruang akademik Islam, di mana nilai keadilan dan amanah seharusnya menjadi dasar setiap langkah, perempuan justru sering menghadapi keterbatasan yang tak kasat mata. 

Di balik jargon meritokrasi dan profesionalisme, masih ada bias halus yang membatasi langkah perempuan untuk naik ke tangga kepemimpinan.

Dalam ruang-ruang perguruan tinggi Islam, kepemimpinan masih kerap dibayangkan dalam sosok maskulin tegas, rasional, dan kuat dalam pengambilan keputusan. Padahal, kepemimpinan dalam Islam bukanlah persoalan jenis kelamin, melainkan persoalan amanah dan akhlak.

Amanah dalam pandangan Islam bukan sekadar mandat struktural, melainkan tanggung jawab moral, spiritual, dan sosial yang menuntut keikhlasan serta kepekaan nurani. 

Nilai-nilai ini justru banyak tumbuh dalam pengalaman perempuan yang terbiasa memelihara, mengasuh, dan menjaga keseimbangan antara kerja dan kehidupan, antara rasionalitas dan kasih sayang. 

Sayangnya, kualitas-kualitas ini sering tidak diakui sebagai bentuk kepemimpinan, karena paradigma lama masih menilai kekuasaan dari sudut pandang dominasi, bukan pengabdian.

Realitas menunjukkan, dari lebih dari 60-an Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) di Indonesia, hanya segelintir yang pernah dipimpin oleh perempuan. 

Sumber: