DISWAYKALTENG.ID - Usulan Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Fahri Hamzah terkait penerapan pajak tinggi pada pembangunan rumah tapak menuai kritik dari berbagai pihak, salah satunya pengamat properti senior Ali Tranghada.
Ia menilai kebijakan tersebut justru akan memberatkan masyarakat dan mengganggu stabilitas bisnis properti di tanah air.
Menurut Ali, kebijakan ini bukan solusi jangka panjang untuk permasalahan keterbatasan lahan, terutama di kawasan perkotaan.
Ia mengatakan bahwa menerapkan pajak tinggi pada rumah tapak (landed house) hanya akan menambah beban biaya bagi masyarakat, terutama mereka yang tengah berjuang memiliki rumah pertama.
“Pajak tinggi hanya akan menjadi biaya tambahan bagi pembeli. Ujung-ujungnya, pasar properti makin lesu karena daya beli makin menurun,” ujar Ali Tranghada, yang juga menjabat sebagai CEO Indonesia Property Watch, dalam keterangan tertulis yang dikutip pada Kamis (5/6/2025).
Tak Bisa Disamakan dengan Negara Lain
BACA JUGA:Resmi! Ini Daftar 23 Pemain Timnas Indonesia Lawan China dan Jepang di Kualifikasi Piala Dunia 2026
Ali juga menyampaikan bahwa tidak bijak jika membandingkan kondisi properti di Indonesia dengan negara-negara maju. Meskipun di beberapa kota luar negeri rumah tapak memang dikenakan pajak lebih tinggi dibandingkan apartemen, kebijakan tersebut muncul dari perkembangan pasar yang alami.
“Di kota-kota luar negeri, pajak rumah memang lebih tinggi, tapi itu terjadi secara alami, bukan karena kebijakan yang mendadak atau ‘ujug-ujug’. Kita tidak bisa serta merta menyalin tanpa melihat konteks lokal,” jelasnya.
Daripada membebankan pajak tinggi, Ali justru menyarankan pemerintah untuk lebih aktif mendorong pembangunan hunian vertikal dengan memberikan berbagai insentif.
Menurutnya, hunian seperti rumah susun (rusun) atau apartemen harus diprioritaskan terutama untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
“Semakin rendah segmen pasar sebuah hunian, seharusnya semakin besar juga insentif dari pemerintah. Itu bentuk nyata komitmen negara dalam menyediakan perumahan publik,” terang Ali.
Ia menambahkan, pemberian insentif bisa dalam bentuk kemudahan perizinan, pembebasan PPN, hingga dukungan subsidi bunga kredit perumahan. Dengan cara ini, masyarakat didorong ke hunian vertikal tanpa harus merasa terpaksa atau terbebani.
Kritik Terhadap Model Kebijakan “Tambal Sulam”
Lebih lanjut, Ali menyebut bahwa kebijakan perumahan di Indonesia masih bersifat tambal sulam dan tidak terintegrasi. Ia khawatir bahwa pola kebijakan yang tidak konsisten seperti ini justru akan membuat iklim bisnis properti menjadi tidak stabil.