DISWAYKALTENG.ID - Industri energi terbarukan dunia tengah diguncang kabar panas dari Amerika Serikat.
Pemerintah AS, melalui otoritas dagangnya, menyatakan bahwa panel surya dari negara-negara Asia Tenggara seperti Malaysia, Thailand, Kamboja, dan Vietnam berisiko dikenakan tarif impor sangat tinggi, bahkan mencapai 3.500%.
Langkah ini merupakan hasil dari penyelidikan antidumping dan antisubsidi yang telah berlangsung sejak tahun lalu, menyusul laporan dari produsen domestik seperti Hanwha Qcells dan First Solar.
Kedua perusahaan tersebut menuding perusahaan-perusahaan asal Tiongkok yang memproduksi panel surya di kawasan Asia Tenggara melakukan praktik curang: menjual produk di bawah biaya produksi dan menerima subsidi tak wajar dari negara asalnya.
Tarif Fantastis: Dari 41% Sampai Lebih dari 3.500%!
BACA JUGA:Di Tengah Perang Dagang, Anindya Bakrie Ungkap Indonesia Justru Siap Bersaing di Kancah Global
Hasil penyelidikan ini bukan main-main. Besaran tarif sangat bervariasi tergantung pada negara asal produk dan tingkat kerja sama selama investigasi. Misalnya:
-
Jinko Solar (beroperasi di Malaysia) dikenai tarif 41,56%
-
Trina Solar (beroperasi di Thailand) menghadapi tarif 375,19%
-
Sementara perusahaan di Kamboja yang tidak bekerja sama dalam investigasi bisa dikenakan tarif impor hingga 3.500%
Angka-angka ini jelas bikin dahi berkerut. Bagi para eksportir, ini seperti hukuman ekonomi. Dan untuk perusahaan AS yang bergantung pada komponen impor dari Asia Tenggara, ini berarti biaya produksi yang melambung tajam.
AS Ingin Melindungi Industri Lokal, Tapi Apa Dampaknya?
Menurut Tim Brightbill, pengacara dari American Alliance for Solar Manufacturing Trade Committee, langkah ini penting untuk menghentikan praktik perdagangan tidak adil yang merugikan industri dalam negeri.
Ia menyebut bahwa investasi miliaran dolar di sektor manufaktur panel surya AS harus dilindungi dari gempuran harga murah yang dianggap "curang".
“Tarif ini adalah bagian dari komitmen AS untuk menciptakan ekosistem energi terbarukan yang kuat dan berkelanjutan dari sisi ekonomi,” ujar Brightbill.
Tapi tunggu dulu, nggak semua pihak setuju dengan langkah ini.
Tarif Bisa Hambat Pertumbuhan Energi Bersih
Solar Energy Industries Association (SEIA) menyuarakan kekhawatirannya. Mereka menilai bahwa tarif impor yang tinggi justru bisa menghambat pertumbuhan sektor energi surya yang selama ini tumbuh pesat di AS, apalagi setelah adanya dukungan dari Inflation Reduction Act 2022 yang menyuntikkan subsidi besar untuk sektor energi bersih.
“Tarif ini bisa mengganggu pasokan dan membuat proyek tenaga surya jadi lebih mahal dan lambat realisasinya,” ujar juru bicara SEIA.
Dengan kata lain, niat untuk membela industri lokal bisa jadi berbalik merugikan target transisi energi bersih AS sendiri.