DPRD Kalteng Genjot Percepatan Ranperda Penyelesaian Konflik Lahan

Lahan kosong--
DISWAYKALTENG.ID - DPRD Kalimantan Tengah (Kalteng) terus menggenjot penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Penyelesaian Konflik dan Sengketa Lahan.
Regulasi ini dinilai krusial untuk memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat yang kerap menjadi korban dalam konflik agraria, terutama dengan perusahaan besar swasta (PBS).
Anggota Komisi I DPRD Kalteng, Purdiono, menyebut bahwa Ranperda ini sudah lama digagas, bahkan sejak periode sebelumnya. Namun, prosesnya sempat terhambat lantaran naskah akademik yang disusun sebelumnya dianggap kurang relevan dengan kondisi nyata di Kalimantan Tengah.
“Kami nilai naskah sebelumnya dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM) belum menggambarkan realita konflik lahan di Kalteng. Maka kami minta Universitas Palangka Raya (UPR) untuk menyusun ulang agar lebih kontekstual dengan situasi lapangan,” ungkap Purdiono, anggota Fraksi Partai Golkar DPRD Kalteng, belum lama ini.
Bukan Sekadar Yuridis, Perda Harus Akui Peran Adat Dayak
Lebih jauh, Purdiono menegaskan bahwa penyelesaian sengketa lahan di Kalimantan Tengah tidak bisa hanya mengandalkan jalur hukum positif atau yuridis semata. Menurutnya, mekanisme penyelesaian berbasis kearifan lokal dan peran Dewan Adat Dayak (DAD) harus diakomodasi dalam Ranperda ini.
“Konflik lahan di Kalteng itu unik, tidak bisa disamaratakan dengan daerah lain. Kita punya struktur adat yang masih hidup dan sangat dihormati oleh masyarakat. Ini harus diakui dalam regulasi, karena seringkali mekanisme adat justru lebih efektif menyelesaikan sengketa ketimbang jalur formal,” tegas Purdiono, yang mewakili Dapil IV Kalteng (Barito Timur, Barito Selatan, Barito Utara, dan Murung Raya).
Masyarakat Kerap Kalah, Karena Tak Ada Landasan Hukum Daerah
Purdiono mengungkapkan bahwa selama ini, banyak kasus sengketa antara masyarakat dan PBS yang berujung “buntung” bagi warga. Hal ini karena tidak adanya dasar hukum di tingkat daerah yang benar-benar berpihak kepada rakyat.
“Sudah sering terjadi, masyarakat yang secara turun-temurun mengelola lahan, malah kalah di pengadilan karena perusahaan punya legalitas formal yang lebih kuat. Padahal mereka jelas-jelas yang menggarap dan merawat tanah tersebut sejak lama,” ujarnya.
DPRD Kalteng berharap dengan adanya Ranperda ini, masyarakat mendapatkan payung hukum yang tegas dan adil. Regulasi ini juga diharapkan mampu mencegah konflik horizontal antar warga yang kerap terjadi akibat tumpang tindih klaim kepemilikan lahan.
Jadi Prioritas Legislasi Daerah Tahun 2025
Purdiono menambahkan, DPRD Kalteng menargetkan agar Ranperda ini masuk sebagai Program Pembentukan Peraturan Daerah (Propemperda) prioritas tahun 2025. Pihaknya optimistis dengan dukungan semua pihak, termasuk Pemprov Kalteng dan akademisi, regulasi ini bisa segera disahkan.
“Kalau Ranperda ini bisa rampung, Kalimantan Tengah akan menjadi provinsi pelopor dalam penyelesaian sengketa lahan berbasis hukum adat dan kearifan lokal,” katanya.
Perda Penyelesaian Sengketa Lahan: Urgensi yang Tak Bisa Ditunda
Konflik agraria di Kalimantan Tengah memang menjadi salah satu isu laten yang kerap memicu ketegangan sosial. Dengan luas wilayah mencapai lebih dari 153 ribu km², dan mayoritas dihuni oleh masyarakat adat Dayak, tumpang tindih kepemilikan lahan antara warga dan korporasi kerap terjadi.
Data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng mencatat, setiap tahunnya terjadi puluhan kasus konflik lahan yang melibatkan masyarakat dengan perusahaan perkebunan, tambang, hingga HTI (Hutan Tanaman Industri).
Tanpa adanya regulasi daerah yang kuat, masyarakat seringkali diposisikan sebagai pihak yang kalah meski memiliki bukti pengelolaan lahan secara turun-temurun.
Perda Penyelesaian Konflik Lahan Kalteng Diharapkan Jadi Model Nasional
DPRD Kalteng berharap, Ranperda ini kelak bisa menjadi contoh bagi provinsi lain yang menghadapi permasalahan serupa. Kalimantan Tengah memiliki modal sosial berupa struktur adat yang masih kokoh, sehingga penyelesaian konflik dengan pendekatan lokal berbasis musyawarah bisa menjadi solusi yang lebih damai dan berkeadilan.
“Kita tidak anti-investasi, tapi masyarakat jangan dikorbankan. Perda ini justru untuk menciptakan iklim yang lebih kondusif agar semua pihak—baik masyarakat, pemerintah, maupun perusahaan—punya kepastian hukum,” tutup Purdiono.
Sumber: