Kalteng Wajibkan Siswa SMA dan SMK Gunakan Bahasa Daerah dan Pakaian Adat Setiap Kamis

Rabu 25-06-2025,22:55 WIB
Reporter : Derry Sutardi
Editor : Derry Sutardi

DISWAYKALTENG.ID - Dalam upaya memperkuat jati diri budaya lokal di kalangan generasi muda, Gubernur Kalimantan Tengah (Kalteng) Agustiar Sabran resmi menerapkan kebijakan unik dan sarat makna, setiap hari Kamis, seluruh siswa dan guru SMA, SMK, dan Sekolah Khusus (SKH) diwajibkan menggunakan bahasa daerah serta mengenakan atribut pakaian adat khas Dayak.

Program ini dinamakan “Kamis Berbahasa Daerah”, dan telah berjalan sejak sebulan terakhir. Seiring waktu, antusiasme terhadap program ini mulai tumbuh, baik di kalangan pelajar, tenaga pendidik, hingga masyarakat umum.

Tujuan: Tak Hanya Cerdas, tapi Juga Berkarakter

Menurut Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pendidikan Kalteng, Muhammad Reza Prabowo, program ini bukan sekadar gimmick seremonial. Melainkan bagian dari visi pendidikan yang menyeluruh: tidak hanya mencerdaskan secara akademik, tetapi juga membentuk karakter dan kepribadian yang berakar pada budaya lokal.

“Pak Gubernur ingin anak-anak kita bukan hanya pintar akademik, tetapi juga memiliki karakter, mindset yang baik, serta attitude yang terpuji. Ini semua harus sejalan dengan upaya pelestarian budaya lokal,” ujar Reza, Selasa (24/6/2025).

Bahasa Daerah Disesuaikan Tiap Wilayah

BACA JUGA:Gubernur Kalteng Sidak Kantor Perizinan: Tak Ada Tempat Bagi Pungli dan Joki di Pemerintahan yang Bersih

Kebijakan ini disesuaikan dengan kondisi sosial budaya tiap daerah di Kalimantan Tengah. Di wilayah Barito, misalnya, bahasa yang digunakan antara lain Bahasa Dayak Bakumpai dan Manyan. Sementara itu, di wilayah barat dan tengah, sekolah-sekolah diminta menyesuaikan dengan bahasa daerah setempat.

Tak hanya bahasa, para siswa dan guru juga diminta mengenakan atribut adat seperti lawung (ikat kepala khas Dayak) atau sumping (hiasan kepala tradisional) sebagai bagian dari rutinitas hari Kamis.

Reza menegaskan, ini adalah bentuk nyata dari prinsip “belom bahadat” atau hidup menjunjung tinggi adat istiadat. Nilai ini telah lama menjadi filosofi hidup masyarakat Dayak, dan kini dihidupkan kembali di lingkungan pendidikan.

Tantangan Implementasi: Bukan Sekadar Seragam, tapi Proses Jangka Panjang

Diakui Reza, kebijakan ini masih menghadapi sejumlah tantangan. Salah satunya adalah kesulitan adaptasi oleh guru atau tenaga pendidik yang berasal dari luar daerah, yang belum familiar dengan bahasa lokal.

Namun, Dinas Pendidikan Kalteng telah menyiapkan sejumlah strategi, seperti pelatihan internal, modul bahasa daerah, dan pendekatan komunitas budaya lokal untuk membantu proses transisi ini.

“Kami tahu merubah pola pendidikan itu tidak bisa sebulan atau setahun. Butuh konsistensi dan kontinuitas. Tapi kami optimistis, seiring waktu, pendidikan Kalteng akan semakin maju tanpa meninggalkan akar budaya,” tuturnya.

Respon Positif Masyarakat dan Siswa

BACA JUGA:Wacana Pembentukan Provinsi Kotawaringin: Pemekaran Baru Kalimantan Tengah untuk Pemerataan Pembangunan

Program ini juga mendapat sambutan positif dari berbagai kalangan. Banyak orang tua dan tokoh masyarakat yang merasa bangga karena budaya lokal kembali diangkat ke ruang publik dan pendidikan formal.

Salah satu siswa SMK di Palangka Raya, misalnya, mengaku senang bisa belajar bahasa daerah dan mengenakan atribut adat.

“Awalnya agak malu, tapi sekarang jadi bangga karena bisa pakai atribut Dayak dan ngobrol pakai bahasa daerah bareng teman dan guru,” ujarnya.

Masa Depan Pendidikan Berbasis Budaya Lokal

Kebijakan ini sejalan dengan upaya nasional dalam mendorong penguatan karakter dan pelestarian budaya Nusantara di satuan pendidikan.

Dengan menjadikan bahasa dan pakaian adat sebagai bagian dari rutinitas sekolah, Kalimantan Tengah menunjukkan bahwa pendidikan bukan hanya soal angka dan nilai, tetapi juga tentang identitas, akar budaya, dan kebanggaan akan warisan leluhur.

Kategori :