DISWAYKALTENG.ID - Rencana pemerintah pusat membuka program transmigrasi nasional ke Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) tampaknya tak sepenuhnya disambut hangat.
Sebaliknya, sejumlah tokoh masyarakat lokal menyuarakan penolakan terhadap kebijakan tersebut karena dinilai bisa mengancam posisi penduduk asli di berbagai sektor kehidupan.
Pemerintah pusat menetapkan tiga kabupaten sebagai tujuan transmigrasi baru, yakni Kapuas, Sukamara, dan Kotawaringin Barat. Transmigran yang akan dikirim ke wilayah ini berasal dari beberapa provinsi padat penduduk seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jawa Barat, Banten, dan Bali.
Masyarakat Lokal Was-was: Jangan Sampai Jadi Tamu di Tanah Sendiri
Penolakan yang mencuat dari sebagian tokoh lokal bukan tanpa alasan. Banyak yang khawatir jika program transmigrasi ini tidak dikelola dengan baik, maka akan menggeser posisi masyarakat lokal, terutama dalam bidang ekonomi, pertanian, lahan, hingga kebudayaan.
“Kalau transmigran datang tanpa kejelasan aturan, bisa-bisa kami yang asli sini hanya jadi penonton. Bahkan bukan tidak mungkin nanti orang lokal hanya jadi tamu di rumahnya sendiri,” ujar salah satu tokoh adat Dayak dari wilayah Kapuas, yang enggan disebutkan namanya.
Gubernur Agustiar Sabran: NKRI Harga Mati, Tapi Orang Lokal Tetap Prioritas!
Menanggapi dinamika yang berkembang, Gubernur Kalimantan Tengah, Agustiar Sabran, mencoba menenangkan gejolak dengan menegaskan bahwa semangat kebangsaan dan NKRI harus tetap dijunjung tinggi.
“Kita ini Indonesia. Penolakan itu hal yang wajar, bagian dari dinamika masyarakat. Tapi jangan lupa, kita ini satu bangsa,” ujarnya.
Namun begitu, Agustiar tetap menegaskan komitmennya untuk memprioritaskan masyarakat lokal dalam segala aspek pembangunan, termasuk soal transmigrasi.
“Sudah saya sampaikan, visi kami jelas: orang lokal harus jadi tuan rumah di tanahnya sendiri. Jadi jika benar ada program transmigrasi ini, maka hak-hak warga lokal harus diutamakan,” tegasnya.
Transmigrasi di Kalteng: Kesempatan atau Ancaman?
Program transmigrasi nasional memang sejak lama dijadikan sebagai solusi persebaran penduduk dan pemerataan pembangunan.
Namun, tanpa perencanaan matang dan sosialisasi menyeluruh, transmigrasi juga bisa menjadi ancaman terselubung bagi identitas lokal dan ekosistem sosial masyarakat setempat.
Sejumlah pengamat menilai, untuk wilayah seperti Kapuas, Sukamara, dan Kotawaringin Barat yang masih memiliki kekayaan alam melimpah, transmigrasi harus dilakukan dengan pendekatan partisipatif dan budaya lokal.
"Jangan sampai hanya karena ingin mengisi lahan kosong, akhirnya masyarakat lokal tersingkir dari ladangnya sendiri," ujar Yulianus, pengamat sosial dari Universitas Palangka Raya.