6 Ciri Keluarga Toxic yang Sering Tak Disadari, Bisa Picu Depresi hingga Rendah Diri di Usia Dewasa

6 Ciri Keluarga Toxic yang Sering Tak Disadari, Bisa Picu Depresi hingga Rendah Diri di Usia Dewasa

Keluarga Bahagia-ilustrasi-

DISWAYKALTENG.ID - Keluarga seharusnya menjadi ruang aman bagi setiap individu tempat pulang yang penuh dukungan, perlindungan, dan stabilitas emosional.

Namun kenyataannya, tidak semua orang tumbuh dalam lingkungan yang sehat. Dalam banyak kasus, dinamika keluarga justru dapat berubah menjadi toxic dan memengaruhi kesehatan mental seseorang hingga jangka panjang.

Para psikolog menegaskan, pola hubungan keluarga yang tidak pernah disadari atau tidak pernah diselesaikan dapat berkontribusi pada munculnya depresi, kecemasan, rendah diri, dan kesulitan membangun hubungan yang sehat saat dewasa.

Berikut enam ciri keluarga toxic yang kerap terjadi namun jarang diakui, menurut para ahli.

1. Adanya Favoritisme dalam Keluarga

BACA JUGA:5 Manfaat Teh Hitam untuk Kesehatan: Tingkatkan Imunitas hingga Jaga Gula Darah

Favoritisme atau pilih kasih adalah salah satu pola keluarga toxic yang paling merusak, baik bagi anak yang diabaikan maupun bagi yang dijadikan “favorit”.

Candace Kotkin-De Carvalho, seorang pekerja sosial berlisensi dan profesional trauma klinis, menjelaskan bahwa memperlakukan satu anak sebagai yang paling disayang dapat menimbulkan luka emosional mendalam.

“Orangtua yang condong pada satu anak akan memberi lebih banyak waktu, dukungan, atau hak istimewa. Hal ini bisa merusak harga diri anak lainnya,” ujarnya, dikutip dari Business Insider, Kamis (4/12/2025).

Dampaknya bukan hanya pada anak yang kurang diperhatikan.
Anak yang diposisikan sebagai kesayangan pun dapat mengalami tekanan besar, iri saudara, hingga hubungan keluarga yang retak.

Survei tahun 2022 juga menunjukkan bahwa orang dewasa yang tumbuh dalam lingkungan penuh favoritisme lebih rentan merasa kesepian.

2. Menjadikan Seseorang Kambing Hitam

Mencari “si paling salah” dalam keluarga adalah pola toxic yang sering terjadi, terutama pada keluarga dengan orangtua narsistik.

Psikoterapis Kelly Neupert mengatakan bahwa anak yang dijadikan kambing hitam cenderung menginternalisasi pesan negatif ini dan merasa tidak layak dicintai.

Hal ini dapat menyebabkan:

  • Depresi

  • Isolasi sosial

  • Overthinking

  • Rentan terjebak hubungan toxic di masa depan

Bahkan, sebuah tinjauan ilmiah pada 2020 menyebutkan bahwa anak yang menjadi kambing hitam sering memiliki identitas diri yang rapuh dan kesulitan mengatur emosi.

3. Parentifikasi atau Pertukaran Peran

BACA JUGA:5 Manfaat Teh Hitam untuk Kesehatan: Tingkatkan Imunitas hingga Jaga Gula Darah

Parentifikasi terjadi ketika seorang anak dipaksa mengambil peran orang dewasa, seperti mengurus adik, memikul tanggung jawab rumah, atau menjadi tempat cerita dan pelampiasan emosi orangtua.

Sering kali pola ini dianggap sebagai “anak yang berbakti”, padahal ini merupakan bentuk beban emosional yang tidak seharusnya dipikul anak.

Kotkin-De Carvalho menjelaskan, “Parentifikasi membuat anak memprioritaskan kebutuhan keluarga di atas kebutuhan dirinya sendiri.”

Penelitian pada 2021 menemukan bahwa parentifikasi dapat meningkatkan:

  • Risiko depresi

  • Kecemasan

  • Prestasi sekolah yang menurun

Ketika dewasa, anak yang mengalami parentifikasi cenderung tumbuh menjadi orang yang selalu merasa bertanggung jawab secara emosional terhadap banyak orang, bahkan ketika itu merugikan dirinya sendiri.

4. Cinta dan Kasih Sayang yang Bersyarat

Dalam keluarga sehat, kasih sayang diberikan tanpa syarat. Namun dalam keluarga toxic, cinta sering dijadikan alat manipulasi.

Konselor kesehatan mental GinaMarie Guarino menegaskan bahwa kasih sayang bersyarat adalah bentuk kontrol yang merusak harga diri anak.

Contoh pola cinta yang bersyarat:

  • Orangtua hanya memberi perhatian saat anak berprestasi

  • Saudara kandung memberi kasih sayang saat mereka butuh bantuan

  • Pengabaian emosional ketika anak tidak memenuhi ekspektasi

Dinamika ini menciptakan individu yang takut mengecewakan, sulit mengambil keputusan, dan cenderung menghindari konflik karena takut ditolak.

5. Komunikasi Tidak Langsung

Komunikasi yang tidak jujur—misalnya lewat sindiran, gosip, atau menyampaikan pesan lewat orang lain—juga merupakan tanda keluarga toxic.

Neupert menjelaskan, “Pola komunikasi tidak langsung memperbesar kesalahpahaman dan meruntuhkan kepercayaan.”

Pola komunikasi ini biasanya menyebabkan:

  • Konflik berkepanjangan

  • Hubungan renggang

  • Masalah kecil yang membesar karena tak pernah dibahas langsung

Ketika komunikasi sehat tidak dipraktikkan, masalah apa pun akan lebih sulit diselesaikan.

6. Pelanggaran Batas Secara Terus-Menerus

Setiap individu punya batasan pribadi—privasi, ruang, waktu, hingga otonomi keputusan. Namun dalam keluarga toxic, batasan ini sering tidak dihargai.

Terapis keluarga berlisensi Angela Sitka mengatakan, “Ketika batasan sudah disampaikan jelas namun tetap dilanggar, pesan yang dikirimkan adalah bahwa kebutuhan kamu tidak penting.”

Contohnya:

  • Membuka pesan pribadi tanpa izin

  • Masuk kamar tanpa mengetuk

  • Datang ke rumah tanpa pemberitahuan

  • Meremehkan perasaan saat kamu keberatan

Jika terjadi terus-menerus, seseorang bisa merasa tidak punya hak atas ruang atau emosinya sendiri, sehingga memendam frustasi jangka panjang.

Mengenali Pola Toxic Adalah Langkah Pertama Melindungi Diri

Mengenali tanda-tanda keluarga toxic bukan bertujuan menyalahkan, melainkan memahami pola agar kamu bisa melindungi diri secara emosional.

Langkah yang bisa dilakukan antara lain:

  • Menetapkan batasan yang sehat

  • Membangun jaringan dukungan di luar keluarga

  • Mencari bantuan profesional seperti psikolog atau konselor

Banyak orang tumbuh dalam dinamika keluarga toxic tanpa menyadarinya. Tapi kabar baiknya, siklus ini bisa diputus. Memahami pola yang tidak sehat adalah kunci untuk membangun hubungan yang lebih baik—baik dengan keluarga maupun dengan diri sendiri.

 

Jika kamu pernah mengalami salah satu pola di atas, kamu tidak sendirian. Yang terpenting adalah langkah yang kamu ambil untuk pulih dan menciptakan lingkungan yang lebih sehat untuk masa depanmu.

Sumber: