Waspadai Pubertas Dini pada Anak: Penyebab, Faktor Risiko, dan Gaya Hidup yang Bisa Mencegahnya

Waspadai Pubertas Dini pada Anak: Penyebab, Faktor Risiko, dan Gaya Hidup yang Bisa Mencegahnya

Pubertas/ilustrasi-ilustrasi-

 

DISWAYKALTENG.ID - Pubertas adalah fase penting dalam kehidupan seorang anak, menandai perubahan fisik dan hormonal menuju kedewasaan.

Namun, kini banyak orang tua mulai khawatir karena anak-anak mereka tampak mengalami pubertas lebih cepat dari seharusnya.

 

Kondisi ini dikenal sebagai pubertas dini, dan bisa terjadi karena berbagai faktor mulai dari gangguan hormonal, tumor, hingga gaya hidup modern yang tidak sehat.

 

Apa Itu Pubertas Dini?

 

Mengutip penjelasan dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), pubertas dini adalah kondisi ketika seorang anak menunjukkan tanda-tanda pubertas lebih awal dari usia normal.

 

Secara umum:

 

  • Pada anak perempuan, pubertas normal dimulai antara usia 8–13 tahun.

  • Pada anak laki-laki, biasanya dimulai antara usia 9–14 tahun.

 

Namun, bila tanda-tanda seperti payudara mulai tumbuh sebelum usia 8 tahun atau testis membesar sebelum usia 9 tahun, maka kondisi ini dikategorikan sebagai pubertas dini.

 

Menurut NHS UK, pubertas dini jauh lebih sering dialami oleh anak perempuan dibanding laki-laki, dan dalam banyak kasus penyebab pastinya tidak diketahui secara pasti.

BACA JUGA:Enam Buah dengan Kandungan Antioksidan Lebih Tinggi dari Teh Hijau, Nomor 4 Bikin Kaget!BACA JUGA:Enam Buah dengan Kandungan Antioksidan Lebih Tinggi dari Teh Hijau, Nomor 4 Bikin Kaget!

 

Jenis dan Penyebab Pubertas Dini

 

Berdasarkan penelitian medis dan panduan dari Mayo Clinic, pubertas dini dibagi menjadi dua jenis utama: pubertas dini sentral dan pubertas dini perifer.

 

1. Pubertas Dini Sentral

 

Jenis ini terjadi ketika otak mulai melepaskan hormon-hormon pubertas terlalu cepat. Biasanya disebabkan oleh gangguan pada sistem saraf pusat.

 

Beberapa penyebab pubertas dini sentral antara lain:

 

  • Tumor di otak atau sumsum tulang belakang.

  • Perubahan struktural otak sejak lahir, seperti hidrosefalus (penumpukan cairan di otak) atau hamartoma (tumor jinak).

  • Paparan radiasi pada otak atau sumsum tulang belakang.

  • Cedera kepala atau trauma otak.

  • Kelainan genetik langka seperti sindrom McCune-Albright.

  • Hiperplasia adrenal kongenital, yaitu kelainan genetik yang membuat kelenjar adrenal memproduksi hormon abnormal.

  • Hipotiroidisme, kondisi ketika kelenjar tiroid tidak menghasilkan cukup hormon.

Sumber: